Hiu Punya Alat Pelacak Jejak


Para pemburu tangguh umumnya pandai melacak jejak. Mulai dari yang memiliki keahlian membaca jejak sang buruan, mengandalkan kepekaan hidung, bahkan ada pula yang dianugerahi pendengaran ‘super’. Nah, bagaimana dengan ikan hiu, yang terkenal sebagai pemburu paling andal di lautan?

Baru-baru ini sebuah penelitian dibuat tercengang dengan penemuan mengejutkan yang mengungkap bagaimana cara hiu melacak calon mangsanya. “Selama ini kami menganggap hiu membaui darah (dengan hidungnya) untuk mencari mahkluk yang terluka di lautan. Tapi, ternyata kami salah,” ujar Dr. R. Douglas Fields, ketua Nervous System Development and Plasticity Section, US National Institutes of Health.

Menurut penelitian tersebut, hiu memiliki sebuah cairan mirip lendir dalam kepala mereka yang berguna untuk mencari sinyal listrik di sekitarnya. “Darah mahkluk yang terluka di lautan menghasilkan medan listrik tinggi. Nah, listrik itulah yang ditangkap oleh cairan tersebut,” ujar Fields.

Menurut Fields, proses yang disebut electroreception ini juga menjelaskan mengapa hiu seringkali hanya mengejar mangsa yang telah terluka (berdarah). Sedangkan saat itu, ada banyak mahluk lain (yang bisa dijadikan mangsa) di sekitarnya. (abc/bambang)

Manusia Hampir Cemari Seluruh Lautan

Sejak dahulu, manusia dikenal sebagai spesies penjelajah. Tak ada satu wilayah pun di peta bumi yang luput dari campur tangan manusia. Bahkan nyaris seluruh lautan. Masalahnya, penjelajahan manusia kerap kali diikuti adanya pencemaran dan perusakan lingkungan.

Gambaran itu nampak jelas dalam peta pencemaran laut dunia, hasil studi para peneliti, yang ditunjukan awal Februari 2008 lalu. “Lautan memang sangat luas. Tapi bila Anda memperhatikan (peta ini), tampak begitu banyak wilayah laut yang telah tercemar,” jelas Ben Halpern, ketua tim peneliti dari Universitas California, Santa Barbara, Amerika Serikat.

Lewat penelitian tersebut, para peneliti mencoba menunjukan pada dunia bahwa telah begitu banyak kerusakan ekosistem laut yang disebabkan ulah manusia. Di antaranya adalah pencemaran akibat limbah, illegal fishing, dan global warming.

Wilayah yang paling banyak terkena dampak tersebut antara lain, laut di sekitar pantai utara Eropa, Laut Cina Selatan, dan Laut Cina Timur. “Saat ini, dampak pencemaran terhadap ekosistem laut telah mencapai 40%,” ujar Halpern yang rencananya akan mempublikasikan hasil penelitian tersebut ke khalayak umum. (bbc/bambang)

Amfibi Langka Resmi Dilindungi


Salah satu adegan di film Box Office. Orang-orang berlari ketakutan karena munculnya beberapa kadal raksasa. Bisa ditebak, saat itulah muncul pahlawan-pahlawan yang berusaha melindungi. Tapi, bayangkan bila keadaannya dibalik. Saat kadal-kadal raksasa itu yang terancam. Adakah yang akan melindungi mereka?

Nah, mungkin pertanyaan itulah yang muncul di benak para penggagas EDGE Amphibians program dari Zoological Society of London (ZSL). Bedanya, ancaman pada kadal-kadal raksasa itu muncul dalam kehidupan nyata. Bukan hanya science fiction Hollywood.

EDGE Amphibians program didedikasikan untuk melindungi amfibi-amfibi langka di seluruh dunia dari kepunahan. Lebih jauh lagi, mereka bahkan memberikan pendidikan bagi penduduk setempat untuk turut menjaga hewan-hewan tersebut.

Satu dari amfibi langka itu adalah salamander raksasa (lihat gambar). Hewan yang ditemukan di Cina itu disebut-sebut sebagai amfibi terbesar di dunia. Para ilmuwan ZSL menyatakan bahwa salamander raksasa ini merupakan salah satu spesies yang masih bertahan sejak zaman dinosaurus. “Jangan salah. Ukuran maksimal mereka bisa mencapai ukuran manusia dewasa, yaitu sekitar 1,8 meter,” ujar salah seorang ilmuwan. (nationalgeographic/bambang)

Mata Rantai Evolusi Buaya

Gonjang-ganjing mengenai evolusi buaya masih tak kunjung menemukan ujung pangkalnya. Baru-baru ini, proses pencarian jati diri sang reptil bahkan melibatkan campur tangan seniman. Hasilnya, gambar sesosok reptil purba turut hadir dalam konferensi pers bertema evolusi buaya di Rio de Janeiro, Brasil.

Ismar de Souza Carvalho, paleontolog dari Federal University menyatakan bahwa reptil dalam gambar tersebut adalah gambaran sosok Montealtosuchus arrudacamposi. Menurutnya, reptil berukuran panjang 1,7 meter tersebut merupakan missing link (mata rantai yang hilang) dalam kisah evolusi buaya selama ini.

“Secara ilmiah, spesies ini pernah hidup di masa antara buaya primitif dan buaya modern pada 80-85 juta tahun lalu,” ujar Carvalho menegaskan teorinya dalam jumpa pers yang digelar 31 Januari 2007 lalu.

Namun jangan salah, pernyataan Carvalho bukannya tanpa bukti. Sebagai bukti otentik sekaligus model gambar sang seniman, ia menunjukan fosil Montealtosuchus yang pernah ditemukan oleh seorang ilmuwan, Antonio Celso de Arruda Campos.

Fosil yang ditemukan di dekat Monte Carlo (sekitar 215 mil sebelah barat laut Sao Paulo) pada 2004 itu ditengarai berusia 80 juta tahun. Dari penelitian fosil, Montealtosuchus dipercaya pernah menjelajahi tanah kering dan panas di daerah pedalaman Brasil dengan gerakan tubuhnya yang lincah. (nationalgeographic/bambang)

Bahasa Tubuh Kepiting Fiddler

DALAM kehidupan cinta, manusia kerap menggunakan bahasa tubuh guna menarik lawan jenisnya. Di dunia hewan, cara yang sama ternyata ampuh digunakan. Salah satunya terjadi pada kepiting fiddler.

Martin How, peneliti dari Universitas Nasional Australia mengungkap temuan tersebut usai meneliti hewan bercapit itu di Bowling Green Bay, North Queensland. Menurutnya, kepiting fiddler jantan menggunakan bahasa tubuh untuk menggoda si betina.

Fiddler jantan biasanya melambaikan capitnya ketika ia melihat kehadiran fiddler betina dari jarak tertentu. “Seperti halnya dalam dunia manusia, bahasa tubuh lebih efektif digunakan ketika dua orang terpaut jarak. Rupanya, itu pun berlaku bagi kepiting-kepiting ini,” jelas How.

Menariknya, lambaian capit si jantan menjadi lebih lembut ketika si betina merespon panggilan itu dan mendekat. “Dalam dunia mereka, mungkin inilah yang disebut ‘gayung bersambut’,” kelakar How yang dalam penelitiannya bekerjasama dengan Australian Research Council Centre of Excellence in Vision Science. (abc/bambang)

Baryonyx Nenek Moyang Buaya?


HATI-hati! Wajah bisa menipu. Ungkapan ini mungkin cocok disematkan pada dinosaurus asal Inggris, Baryonyx walkeri. Bukan apa-apa, meskipun memiliki wajah pemangsa daging, dinosaurus satu ini ternyata pemakan ikan.

Teori ini muncul ketika para ilmuwan selesai meneliti fosil kerangka kepala Baryonyx. Ternyata hewan ini memiliki bentuk kerangka kepala yang nyaris sama dengan milik buaya pemakan ikan yang hidup saat ini. Meskipun begitu, keduanya memiliki perbedaan struktur. Baryonyx bermoncong sempit, sedangkan buaya pemakan ikan memiliki moncong datar.

Meskipun berbeda struktur, Dr Emily Rayfield dari Universitas Bristol, Inggris, mengatakan kalau tulang tengkorak kedua hewan memiliki fungsi sama.“Baryonyx dan buaya pemakan ikan sama-sama memiliki rahang yang panjang dengan bentuk gigi mengerucut. Itu membuktikan kalau sumber makanan keduanya sama, yaitu ikan,” tambah Rayfield.

Baryonyx diyakini pernah hidup di daerah hangat dengan banyak rawa-rawa, dan diduga sebagai nenek moyang buaya pemakan ikan. Namun, Dr Angela Milner dari Museum Natural History, London, menyatakan kalau tengkorak kepala kedua hewan ini berevolusi dengan cara berbeda. “Terlalu dini untuk mengatakan bahwa hewan ini nenek moyang buaya pemakan ikan. Evolusi struktur tengkorak yang berbeda adalah pertimbangan khusus,” ujar Milner.(bbc/bambang)

Nenek Moyang Paus Berkaki Empat

PERCAYA atau tidak kalau ikan paus, ternyata punya nenek moyang yang berjalan dengan empat kaki? Nyatanya, sebuah fosil hewan semi akuatik yang ditemukan di Kashmir, India utara didaulat sebagai bagian mata rantai yang hilang dari evolusi mahluk terbesar di lautan itu.

Menurut sebuah penelitian yang dipelopori oleh Fakultas Kedokteran dan Farmasi, Universitas Ohio utara, hewan tersebut memang pernah hidup di Asia selatan sekitar 48 juta tahun lalu.

Hans Thewissen, sang ketua peneliti, mengatakan bahwa hewan yang diduga memiliki kemiripan bentuk dengan kancil tersebut dikenal dengan nama Indohyus. “Pada masa itu, hewan ini tergabung dalam kelompok mamalia besar Artiodactyls,” tambah Thewissen.

Lalu, bagaimana munculnya teori kalau Indohyus adalah nenek moyang paus?

“Pada masa itu, Indohyus yang awalnya hidup di darat perlahan-lahan berubah menjadi hewan semi akuatik untuk menghindari para predator darat,” jelas Thewissen. Sedangkan menanggapi perbedaan antara paus yang pemakan ikan dan Indohyus yang herbivora, ia menjelaskan bahwa peralihan itu terjadi akibat perubahan habitat.

Pernyataan Thewissen diperkuat oleh Philip D. Gingerich, seorang paleontolog dari Universitas Michigan. Ia memberikan analisa yang menunjukan bahwa struktur tulang tengkorak kepala dan telinga Indohyus memang sangat mengacu pada bentuk paus. Begitu pula densitas tulang dan gigi yang menunjukan kalau hewan tersebut banyak menghabiskan waktu di dalam air. (nationalgeographic/bambang)

Katak Mini dari Papua Nugini

BILA dalam film kartun, empat ekor kura-kura yang terkena limbah beracun bermutasi menjadi Kura-kura Ninja, apa yang terjadi di kehidupan nyata pada empat ekor katak saat mengalami nasib sama?

Bukannya membesar seukuran manusia seperti halnya Kura-kura Ninja, katak-katak itu malah menciut. Tak urung, julukan katak mini pun melekat pada keempatnya.

Demikian pernyataan beberapa pihak tentang nasib empat katak yang ditemukan di hutan sekitar Papua Nugini dan Pulau Solomon. Beruntung bagi keempatnya, Kebun Binatang Nasional Smithsonian Institution segera merawat mereka.

Para ilmuwan di kebun binatang mengatakan bahwa meskipun ukuran tubuhnya mini, sebenarnya katak-katak tersebut merupakan katak dewasa. ”Saat ditemukan, katak-katak ini berada di antara para katak dewasa normal dan hewan amphibi lain,” ujar seorang ilmuwan.

Saat ini, para ilmuwan tetap menganggap kalau katak-katak tersebut merupakan spesies baru. Namun beberapa pihak ngotot, kalau keempat katak adalah korban dari limbah beracun daerah setempat. Asal tahu, hutan tempat ditemukannya empat katak mini memang terkenal sebagai wilayah yang habitatnya terancam akibat polusi limbah. (nationalgeographic/bambang)

Rating by outbrain