Octosquid Tertangkap di Hawaii


Apakah Anda dapat membedakan antara gurita dan cumi-cumi? Karena bila tidak, tentunya foto di atas tidak terlalu mengejutkan Anda.

Foto di atas adalah foto dari seekor hewan yang tidak sengaja tersedot oleh saluran pipa milik Natural Energy Laboratory of Hawaii Authority (NELHA) di Kailua-Kona, Hawaii. Hewan yang tersedot pipa dari kedalaman 914 meter di bawah permukaan laut inilah yang saat ini telah membuat para ilmuwan dunia tercengang.

Bagaimana tidak, hewan yang dijuluki Octosquid tersebut memang memiliki campuran genetis dari dua hewan laut, yaitu berbadan gurita (octopus) dan bertentakel cumi-cumi (squid).

Saat ini, hewan tersebut sedang menjalani penelitian di Universitas Manoa, Hawaii. Para ahli oseanografi belum berani memberikan nama untuk hewan ini, karena fakta yang menjelaskan belum pasti diketahui. Walaupun begitu, ada beberapa pihak yang bersikeras kalau hewan tersebut lebih mirip dengan gurita (octopus). ( nationalgeographic/bambang s)

Manta Ray Raksasa Melahirkan di Jepang


Saat para ofisial di sebuah taman akuarium Jepang mengumumkan kelahiran seekor bayi Manta Ray raksasa, para imuwan segera mengeluarkan pernyataan bahwa kelahiran tersebut merupakan saat yang sangat bersejarah bagi dunia kelautan.

Pernyataan tersebut didasarkan pada fakta bahwa Manta Ray raksasa yang ada di akuarium itu merupakan Manta Ray pertama yang melahirkan selama berada dalam lingkungan taman akuarium.

Dari rekaman video kelahiran, bayi Manta Ray itu segera membentangkan siripnya begitu dilahirkan dan langsung berenang. Lebar sirip bayi Manta Ray itu adalah 1, 9 meter atau melebihi tinggi badan manusia dewasa pada umumnya. Sedangkan induknya sendiri memiliki sirip selebar 4,2 meter.

Mengingat Manta Ray raksasa termasuk dalam golongan mahluk yang paling sulit ditangkap, kelahiran itu seolah memberi harapan bagi pihak taman akuarium untuk dapat mengembangbiakan hewan laut itu ke depannya. Selain tentunya hal ini juga merupakan terobosan besar dalam mengungkapkan misteri yang menjelaskan kehidupan Manta Ray di lautan.( nationalgeographic/bambang s)

Terusan Panama Makin Lebar


Tepat pada 22 Oktober 2006 lalu menjadi hari yang bersejarah bagi Terusan Panama dan perdagangan dunia. Karena pada hari tersebut, sebuah kesepakatan yang akan menghabiskan dana sebesar $ 5.25 milyar telah dibuat untuk memperlebar Terusan Panama sekaligus menggandakan kapasitas tampungnya.

Saat dibangun pertama kali oleh Amerika Serikat pada 1914, terusan ini telah banyak berjasa dengan menampung hampir 5% pelayaran kapal-kapal dagang dari seluruh penjuru dunia. Alasan pelebaran terusan sendiri adalah mengingat semakin pesatnya kemajuan perdagangan dunia yang menggunakan jasa pelayaran dan semakin besarnya kapal-kapal dagang yang melewati terusan ini.

Proyek raksasa itu sendiri sebenarnya baru akan berjalan pada Agustus 2007 ini. Walaupun begitu, para pekerja telah mempersiapkan segala sesuatunya jauh-jauh hari untuk memperkirakan dampak ekologis pelebaran terusan ini.(nationalgeographic/bambang s)

Fosil Penguin Purba Ditemukan


Penguin, spesies burung pemburu ikan yang handal, dengan corak badan hitam-putih ternyata dulunya pernah memiliki tubuh setinggi manusia. Sebuah fosil tengorak penguin yang ditemukan di gurun Atacama, Peru mengungkapkan fakta mengejutkan tersebut.

Ukuran fosil tengkorak yang tidak lazim dengan umumnya penguin biasa itu mengindikasikan kemungkinan bahwa pada 30 juta tahun yang lalu, spesies burung tersebut pernah menjelajahi gurun Atacama dengan ukuran tinggi sama dengan manusia dewasa.

Pernyataan itu dikeluarkan setelah fosil yang diberi nama Icadyptes salasi tersebut dibandingkan dnegan satu-satunya penguin modern yang tinggal di Peru, yaitu Spheniscus humboldti.

Para ilmuwan dari National Study of Science menggambarkan penguin tersebut memiliki tinggi badan 1,5 meter dengan panjang paruh 0,3 meter. Paruh yang tidak proporsional dengan tinggi badan itu diyakini berkaitan erat dengan cara penguin berburu ikan dengan cara menombak. “Tentunya 30 juta tahun yang lalu, ikan-ikan yang menjadi makanan para penguin itu pun memiliki ukuran tubuh yang cukup besar” ujar salah seorang ilmuwan menambahi.(nationalgeographic/bambang s)

Tsunami Ancam AS

Usai meluluhlantakan kawasan Asia Tenggara, tsunami kembali mengancam. Kali ini sasarannya adalah negara-negara di sekitar Samudra Pasifik, termasuk Amerika Serikat (AS).

Hal itu dinyatakan oleh para ilmuwan dunia yang sepakat bahwa tsunami lebih ebrpotensi terjadi di Samudar Pasifik dibandingkan di Samudra Hindia. Menurut mereka, Samudra Pasifik lebih banyak memiliki subduction zone, yaitu daerah yang menghasilkan gempa bumi paling kuat dan mampu menimbulkan tsunami.

Para ilmuwan mengatakan, ancaman terbesar diperkirakan terjadi di AS atau tepatnya di wilayah-wilayah yang dekat dengan subduction zone di zona Cascadia yang cakupannya mencapai California Utara. Mereka juga memperkirakan bahwa gempa bumi berkekuatan 9.0 skala richter (SR) sewaktu-waktu bisa menghantam pantai-pantai yang berada di wilayah Cascadia subduction zone dan menimbulkan tsunami setinggi 5 meter.

Bahkan, tsunami tersebut bisa jadi akan menyerang perairan Jepang 10-20 jam setelah tsunami pertama terjadi. Pernyataan itu bukan tidak beralasan. Sebab, gempa bumi berkekuatan besar punya potensi tsunami yang efeknya meluas.

Sebenarnya sejak 1997, status dan otoritas lokal di daerah Pasifik barat laut memang telah dinyatakan sebagai daerah rawan tsunami. Bahkan beberapa daerah di wilayah itu telah memiliki sistem peringatan dini berteknologi tinggi yang sewaktu-waktusiap mengirim tanda-tanda tsunami.

Sebelumnya, AS pernah dilanda tsunami pada 1946. Saat itu, gempa Aleutian yang terjadi di Alaska menghasilkan tsunami yang menyerang Hawaii. Sejak peristiwa tersebut atau tepatnya tahun 1964, AS telah menciptakan tsunami monitoring sistem yang dikendalikan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).

Saat ini, AS memiliki enam buah deep ocean monitor yang ditempatkan di pulau Aleutian, Alaska. Cara kerja alat tersebut adalah membaca dan merekam perubahan cuaca untuk mempelajari pola gempa bumi yang mampu membangkitkan tsunam. Rekaman data-data dari alat tersebut kemudian dikirim melalui jaringan satelit cuaca milik NOAA. (nationalgeographic/bambang s)

Paus Pernah Hidup di Padang Pasir

Mesir mungkin bukan tempat pertama dalam daftar bila Anda ingin mencari seekor ikan paus. Namun, tahukah Anda bahwa padang pasir Wadi hitan yang berada di Mesir, dulunya adalah sebuah laut dengan bermacam-macam biota laut?

Seorang ahli geologi bernama Philip D. Gingerich dibanu beberapa anggota tim ekspedisinya membuktikan hal tersebut. Setelah melalui sebuah penggalian yang cukup lama, sebuah fosil Basilosaurus isis dengan panjang 18 meter ditemukan di tengah-tengah padang pasir tersebut.

Basilosaurus merupakan nenek moyang ikan paus yang memiliki bentuk menyerupai ular laut raksasa. Diperkirakan pula bahwa gigi-gigi Basilosaurus yang tajam dan pendek kerap emmangsa ikan hiu dan hewan laut lainnya saat itu.

Berbeda dengan paus sekarang, Basilosaurus tidak memiliki blow hole (lubang di kepala yang digunakan untuk bernafas). Jadi, mamalia laut tersebut harus menaikan kepalanya ke atas permukaan air untuk bernafas. Meskipun begitu, hewan ini memiliki kaki yang merupakan warisan dari nenek moyangnya yang pernah hidup di darat.

Fosil Basilosaurus yag rencananya dikirim ke Michigan, Amerika Serikat untuk diteliti itu diperkirakan telah beruur 40 juta tahun. Menurut Gingerich, pengiriman itu hanya untuk penelitian. Selanjutnya fosil yang memiliki kerangka lengkap tersebut akan dikembalikan ke museum di Mesir. (nationalgeographic/bambang s)

kapal Selam Berbentuk Ikan Hiu

Bila para sutradara Hollywood banyak terinspirasi kisah komik dalam pembuatan film-film mereka, maka bukan tidak mungkin bila komik jugalah yang menginspirasi seorang Fabian Cousteau untuk menciptakan sebuah kapal selam.

Troy, demikian nama kapal selam ciptaan Cousteau itu memang terinspirasi dari salah satu komik Tintin berjudul Harta Karun Rakham Merah. Di salah satu komik karangan Herge tersebut, Tintin bersama anjingnya, Snowy diceritakan mengarungi lautan dengan menggunakan kapal selam berbentuk ikan hiu. “Aku membaca komik itu saat usia tujuh tahun dan sejak itu hal tersebut menjadi sebuah impian besar bagiku untuk mewujudkannya,” ujar Cousteau.

Proyek pembuatan Troy sendiri bertujuan sebagai salah satu sarana untuk mempelajari kehidupan hiu putih. Cousteau yakin, spesies hiu putih yang mampu bertahan sejak 400 juta tahun yang lalu sangat menarik untuk dipelajari. Menurutnya, mahluk yang mampu bertahan selama kurun waktu tersebut adalah spesies yang cerdas dan tangguh.

Memang, dana yang dikeluarkan untuk proyek itu tidaklah sedikit, yatu sekitar US$ 100.000. Meskipun begitu, Cousteau mengaku sangat puas degan hasilnya. “Selama ini manusia mempelajari hiu dengan cara duduk di sebuah sangkar dan membujuk predator itu dengan umpan agar mereka mendekat untuk kemudian dipelajari. Hal itu merupakan tindakan yang tidak wajar,” tukasnya.

Uji coba Troy pn dinilai cukup berhasil, saat ikan hiu melihat Troy, mereka merasa tidak terganggu dan tetap berlaku alami. Walaupun ada beberapa yang bertindak agresif, namun tidak sampai ada yang menyerang Troy.

George Lauder, profesor evolusi biologi dan organisme, Universitas Harvard di Cambridge, Massachusetts memuji gagasan Cousteau dalam penciptaan Troy. “Penciptaan Troy adalah sebuah gagasan cerdas untuk mengamati kehidupan hiu lebih dekat,” ujarnya.

Troy dirancang agar dapat bergerak fleksibel sehingga mampu menjelajahi samudra layaknya seekor ikan hiu. Sayangnya, kapal selam yang memiliki ukuran 4, 3 meter itu baru mampu dirancang untuk menampung satu orang penumpang saja.

Penumpang yang sekaligus bertindak sebagai pengemudi akan berbaring telungkup dengan siku sebagai penopang saat mengamati. Selain itu, penumpang Troy pun dilengkapi dengan pakaian selam lengkap dengan tabung oksigen untuk berjaga-jaga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Cousteau berharap kisah Troy tidak akan berhenti sampai di sini saja. Menurutnya, para ilmuwan yang meneliti kehidupan hiu bisa memanfaatkan Troy untuk melanjutkan pengembangan penelitian mereka. (nationalgeographic/bambang s)

Sensor Pengenal Bau Ala Lobster

Saat pertama kali berjumpa dengan lobster ketika masih menjadi junior sebagai ilmuwan biologi, Jelle Atema sempat tercengang menyaksikan betapa bersahajanya hewan laut bercapit besar itu terhadap sesamanya. “Saya melihat mereka berjumpa satu sama lain sambil mengangkat capit besarnya, seolah saling menyapa. Sayangnya, kemudian mereka bertarung,” ujar pria yang kini telah menjadi profesor di Universitas Boston, Massachusetts itu.

Namun, kini Atema telah mengerti bahwa lobster mampu saling mengenali sesamanya dengan bantuan sepasang antena kecil yang ada di atas kepala mereka. Antena tersebut merupakan alat sensor yang berfungsi untuk mengenali bau lobster lainnya. Layaknya fungsi hidung pada manusia, namun lebih tajam.

Antena yang dilengkapi sensor kimia itu disebut aesthetasc. Cara kerjanya adalah menangkap molekul bau yang muncul di sekitar lobster yang selanjutnya dikirim ke otak untuk diidentifikasi. Dari situ lalu otak memberikan perintah.

Selain berfungsi sebagai indera penciuman, antena tersebut ternyata mampu mengirimkan sinyal pada lobster lain yang ditujukan untuk tantangan bertarung. Hal itu merupakan sebuah cara untuk menentukan dominasi di antara mereka dan siapa yang paling pantas menjadi pelindung di wilayah tersebut. Selain tentunya lobster betina pun lebih tertarik pada lobster jantan yang lebih dominan.

Atema mengatakan, ketika seekor lobster kalah bertarung dari lobster lainnya, maka ia akan lebih banyak menghindar untuk bertemu lagi dengan penakluknya. “Si pecundang tersebut masih mengenali bau penakluknya dan akan berkata ‘oh tidak...saya tahu dia.’ Lalu ia pun lari terbirit-birit,” ujar Atema berkelakar.

Namun sekalipun kalah, lobster pecundang itu tidak akan gentar bila bertemu dengan lobster baru dan belum pernah bertarung dengannya.

Temuan Atema dan rekannya, Meg Johnson yang dilaporkan jurnal Experimental Biology itu disambut gembira oleh Diane Cowan, Presiden Konservasi Lobster Maine. Menurutnya, temuan Atema tentang bagaimana cara lobster berinteraksi dengan sesamanya sangat membantu tujuan organisasi yang dipimpinnya dalam mengembangkan industri budidaya lobster. “Tanpa temuan ini, saya rasa tidak akan ada masa depan bagi industri budidaya lobster,” ujarnya.

Cowan, yang sebelumnya pernah bekerjasama dengan Atema menyatakan, temuan berharga Atema itu diharapkan akan sangat membantu industri budidaya lobster untuk mengetahui cara memelihara lobster yang tepat. Temuan itu juga sekaligus bisa menghasilkan produk-produk lobster yang sehat dan bermutu tinggi. (nationalgeographic/bambang s)

Rating by outbrain