Surga Mungil Bagi Ikan dan Burung


Kini ikan dan burung di seluruh dunia dapat bersorak gembira. Syaratnya, mereka hanya perlu tinggal di antara Pulau Hawaii dan Fiji. Lho?

Tapi, Anda akan kecele setengah mati bila menganggap ‘promosi’ ini hanya isapan jempol belaka. Faktanya, di antara dua pulau tersebut memang terhampar sebuah surga mungil bernama Phoenix Islands Protected Area (PIPA) yang diperuntukkan bagi ikan dan burung.

Terletak di wilayah negara pulau Kiribati, PIPA merupakan zona cagar alam hayati laut terbesar ketiga di dunia yang telah berdiri sejak dua tahun lalu. PIPA memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat unik, alami, dan belum banyak tersentuh tangan manusia.

Menteri Lingkungan Hidup Kiribati, Tetapo Nakara menjelaskan, keberadaan PIPA sebagai cagar alam hayati laut terbesar ketiga di dunia diharapkan mampu menarik lebih banyak wisatawan untuk berkunjung ke Kiribati. “Bahkan, kami punya cita-cita menjadikan PIPA sebagai cagar alam hayati laut terbesar di dunia,” imbuhnya.

Tapi, pernyataan tersebut bukannya tak beralasan. Saat ini saja, visi menjadikan PIPA sebagai cagar alam hayati laut terbesar di dunia sudah mulai diwujudkan. Pihak Kiribati siap mengucurkan dana untuk melakukan perluasan wilayah hingga dua kalinya. ”Akhir tahun ini, kami mengharapkan total luas wilayah 425.300 kilometer persegi akan segera terwujud,” ujar Nakara. (abc/bambang)

Bintang Besar di Laut Biru


Menyaksikan bintang di langit mungkin sudah biasa. Melihat bintang jatuh pun bukan hal aneh lagi. Tapi kalau sampai menemukan bintang laut raksasa, pastinya itu luar biasa.

Sadie Mills (kiri) mengakui dirinya memang sempat ketakutan saat pertama kali berjumpa dengan bintang laut terbesar di dunia. ”Benar. Saya sama terkejutnya dengan Anda ketika pertama kali melihat bintang laut sebesar ini,” ujarnya sambil menunjukkan hewan yang memiliki panjang 60 cm itu, 15 Februari 2008 lalu.

Pernyataan Mills sedikit berbeda dengan rekannya, Niki Davey (kanan) yang mengaku benar-benar beruntung menjadi salah satu orang yang pertama menemukan hewan tersebut.”Ini adalah penemuan penting dalam sejarah kelautan dunia. Tentunya saya sangat senang telah mengambil bagian dalam hal ini,” jelasnya.

Baik Mills maupun Davey adalah sukarelawan yang tergabung dalam kegiatan yang digalang oleh National Institute of Water and Atmospheric Research (NIWAR), Selandia Baru. Sepanjang Februari hingga Maret 2008, mereka dan sukarelawan lainnya secara aktif melakukan sensus keanekaragaman hayati laut di Antartika.

Kegiatan yang dilakukan untuk mendukung program International Polar Year and Census of Antarctic Marine Life itu berakhir pada 26 Maret 2008. Dengan total waktu 35 hari, para sukarelawan telah berhasil melakukan sensus pada 30.000 hewan laut di wilayah itu. Selain tentunya menemukan bintang laut raksasa untuk pertama kali. (abc/bambang)

Fosil Utuh Monster Tertua


Siapa bilang sebuah tambang minyak hanya mampu mengundang para penambang yang tertarik pada minyak? Nyatanya, di Kanada, para ahli purbakala berbondong-bondong mendatangi sebuah tambang minyak demi harta terpendam yang ada di dalamnya. Tapi jangan salah, harta yang dimaksud bukanlah minyak. Melainkan sebuah fosil monster purba menakjubkan.

Kisah ini berawal dari penggalian yang dilakukan perusahaan pertambangan Syncrude di sebuah tambang minyak di Provinsi Alberta, Kanada pada 1994. Ketika penggalian mencapai kedalaman 60 meter, alih-alih menemukan sumber minyak baru, para pekerja malah dikejutkan oleh penemuan sebuah ‘kuburan’ dengan panjang 2, 6 meter.

Namun ternyata itu bukan ‘kuburan’ biasa, di dalamnya teronggok sebuah fosil utuh monster laut tertua yang pernah ditemukan dalam sejarah. Bisa ditebak, para ahli purbakala yang melakukan identifikasi pun segera dibuat tercengang oleh fosil yang akhirnya diberi nama Nichollsia borealis ini.

Ada dua alasan mengapa fosil yang kini menghuni Museum Royal Tyrrell di Drumheller, Alberta ini layak disebut penemuan hebat. Pertama karena ini kali pertama sebuah fosil hewan purba ditemukan dalam keadaan utuh. Kedua adalah munculnya teori bahwa hewan ini kemungkinan besar merupakan nenek moyang dari spesies Plesiosaurus.

“Plesiosaurus adalah predator tangguh yang pernah menjelajahi lautan pada zaman Cretaceous, sekitar 205-65 juta tahun lalu. Bila ternyata hewan ini adalah nenek moyangnya, ini benar-benar penemuan hebat!” jelas Patrick Druckenmiller, ahli purbakala dari Universitas Calgary yang bersama rekannya, Anthony Russell terus melakukan penelitian pada fosil sang monster. (nationalgeographic/bambang)

Ikan Muka Rata dari Maluku


Bagi Anda yang gemar menyelam di laut Maluku, Indonesia, pastinya tak pernah sadar kalau selama ini acara menyelam Anda kerap diamati mahluk aneh yang lihai bersembunyi di balik batuan karang. Namun Anda tak perlu heran, karena keberadaan mahluk ini memang baru ’ketahuan’ awal Januari 2008 lalu.

”Ternyata ia telah ada di sini sejak berabad-abad lampau. Bentuknya yang aneh membuatnya selalu luput dari mata para penyelam,” ujar operator penyelaman setempat, Randolph Shorten menanggapi temuan di wilayahnya.

Ted Pietsch, ilmuwan asal Universitas Washington, Amerika Serikat adalah orang pertama yang berhasil menemukan dan mengabadikan foto sang mahluk. Menurutnya, mahluk yang ditengarai sebagai jenis ikan baru ini memiliki keunikan luar biasa yang belum pernah ditemukan pada ikan lain.

Wajah si ikan yang rata membuat kedua matanya terletak di depan seperti halnya sepasang mata manusia. Selain itu, gerakannya pun terbilang aneh. Sirip dadanya yang mirip kaki membuatnya lebih banyak ‘merangkak’ seperti penyu daripada berenang layaknya ikan.

Tapi dijelaskan Pietsch, untuk urusan menangkap mangsa ikan ini sebenarnya cukup lihai. Bentuknya yang mirip bunga karang kerap membuat ikan kecil malah mendatanginya. ”Ikan-ikan kecil umumnya mendekatinya untuk mencari makanan. Tapi bukannya menemukan makanan, malah mereka yang dijadikan makanan,” ujar Pietsch yang sampai saat ini belum memutuskan nama bagi temuannya itu. (nationalgeographic/bambang)

Penampakan Sang Pembunuh


Pepatah ‘sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat pasti jatuh juga’ kiranya tepat ditujukan pada paus putih pembunuh dari Alaska. Karena sepandai-pandainya ia menyembunyikan diri, akhirnya ketahuan juga.

“Selama ini kami sering mendengar tentang paus putih ini. Tapi tak pernah menyangka akan sesulit ini menemukannya,” ujar Holly Fearnbach, peneliti dari Laboratorium National Marine Mammal, Seattle, yang berhasil mengabadikan gambar sang pembunuh yang memiliki panjang 7-9 meter dan berat sekitar 4500 kilogram itu.

Momen istimewa ini terjadi 23 Februari 2008 lalu ketika Dyson, kapal peneliti milik National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) melintasi tempat berkumpulnya para singa laut di dekat Gunung Berapi Kanaga, Alaska.

Bahkan John Durban, peneliti dari Alaska Fisheries Science Center NOAA, Seattle, mengaku bahwa inilah kali pertama ia punya kesempatan menyaksikan pemunculan predator singa laut itu. “Awalnya ia tampak sangat putih. Tapi bila diperhatikan, paus ini bukan albino. Ada beberapa bagian tubuhnya yang berwarna kuning dan kecoklatan,” ujarnya. (nationalgeographic/bambang)

T-Rex dari Dasar Laut


Sudah bukan rahasia bila predikat mamalia laut terbesar sudah begitu lekat dengan sosok ikan paus. Namun tahukah Anda, siapa penyandang predikat reptil terbesar di lautan? Percaya atau tidak, jawabannya adalah T-Rex.

Putusan ini ditetapkan para ilmuwan usai penemuan fosil terbaru di Pulau Arctic, Spitsbergen, Norwegia awal 2008. Dari identifikasi fosil, hewan tersebut diperkirakan memiliki panjang 15 meter dan berhak disebut sebagai reptil laut terbesar.

“Ini adalah fosil reptil laut terbesar yang pernah ditemukan. Ketika kami selesai mengidentifikasinya, di kepala kami langsung terbayang seekor T-Rex,” ujar Jørn Hurum, ahli purbakala dari Museum Natural History, Oslo, yang memimpin penggalian.

Monster laut ini mewakili gambaran spesies reptil terbesar dari golongan pliosaurus. Asal tahu, pliosaurus sendiri dinobatkan sebagai predator laut terandal yang pernah hidup 145-200 juta tahun lalu. (nationalgeographic/bambang)

Katak Raksasa Pemangsa Dinosaurus


Siapa bilang pada zaman dinosaurus, yang umumnya dikuasai reptil, para amfibi tidak ikut berjaya? Faktanya, 65-70 juta tahun lalu, seekor katak raksasa hidup di antara mereka dan menjadi salah satu pemangsa.

Kisah yang bisa dibilang mirip dongeng ini berawal dari kiprah para ilmuwan yang menemukan sebuah fosil di barat laut Madagaskar. Dari fosil temuan, para ilmuwan mengindikasikan sang pemilik fosil adalah seekor katak yang memiliki panjang 41 sentimeter dan berat 4, 5 kilogram. “Bila indikasi kami tepat, pastinya hewan ini adalah katak terbesar yang pernah hidup di muka bumi,” ujar Professor David Krause dari Universitas Stony Brook, Amerika Serikat, yang juga terlibat dalam penemuan tersebut.

Para ilmuwan sepakat memberi nama Beelzebufo ampinga pada si katak. Beelzebub diambil dari bahasa Yunani yang digunakan untuk menyebut setan, dan Bufo adalah bahasa Latin untuk katak. Sedangkan nama Ampinga berarti perisai, sebutan yang diambil dari salah satu bagian anatomi si katak yang mirip perisai/baju baja.

Selain berukuran raksasa, Beelzebufo juga digambarkan memiliki mulut yang sangat lebar dengan rahang yang kokoh. “Pada masa itu, sang kodok tentunya berperan sebagai salah satu predator bagi bayi-bayi dinosaurus. Karena siapapun dengan kondisi seperti itu pastinya adalah pemangsa andal,” ujar Krause yang bersama timnya mempublikasikan penemuan mereka pada jurnal National Academy of Sciences. (abc/bambang)

Kepiting Predator Invasi Antartika


Pemanasan global masih belum terhentikan. Tak tanggung-tanggung, dampaknya kali ini sebuah invasi siap mengancam satu tempat di belahan bumi, yaitu Antartika. Pelakunya adalah sekumpulan kepiting predator!

Pernyataan mengejutkan itu dikeluarkan oleh pihak Laboratorium Dauphin Island Sea di Pulau Dauphin, Alabama. Menurut Richard Aronson, salah satu ilmuwan laboratorium, invasi itu didorong oleh meningkatnya suhu perairan di Antartika akibat pemanasan global.

“Para kepiting yang sebelumnya hidup di luar perairan Antartika mulai menyadari kalau suhu di Antarika menjadi lebih hangat. Bisa dipastikan tak lama lagi mereka akan menyerbu wilayah ini,” ujar Aronson yang juga menyatakan, bahwa pihak laboratorium telah membicarakan pencegahan untuk invasi ini dengan American Association for the Advancement of Science, Boston.

Inti kekhawatiran mereka adalah akan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem yang melanda perairan Antartika. “Jika itu terjadi, kami meramalkan udang, cacing, dan bintang laut sebagai spesies asli Antartika akan menjadi korban pertama,” imbuh Aronson.

Para ilmuwan percaya, invasi kepiting hanyalah awal. Bila tidak segera dicegah, ketika suhu perairan Antartika terus meningkat, bukan tidak mungkin para hiu dari luar perairan pun akan datang. Hasilnya, Antartika akan dipenuhi predator mematikan yang memangkas habis penghuni lokal. (nationalgeographic/bambang)

Rating by outbrain